tadi, saya berbincang dengan astrid levina. dia menghadapi satu situasi dimana dia berada diantara posisi sulit. dimana dia harus memilih mendengarkan suara hati dan membiarkan dirinya merasa nyaman dengan pilihannya atau mendengarkan komentar publik, komentar yang saya rasa terlalu ditakuti. yang sebenarnya tidak diketahui sebab akibat. yang mereka tidak tau siapa saya, mengapa begini, tapi mereka meletakan suara tanpa diminta dan memberikan gelombang perpecahan dalam hati kawan saya. lalu, astrid berkata bahwa mereka, yang tidak mengetahui apaapa adalah "komentator" yang sesunguhnya. karena mereka saja yang tidak mengetahui apa apa bisa banyak bicara. itu budaya kita. tahu apa,bicara apa.
menurut saya, pengkomen SEBENARNYA itu adalah orang yang mengomentari situasi ketika mereka mengetahui medan apa yang mereka hadapi. bukan seorang PENGOMENTAR yang hanya asal datang LIHAT buat KEPUTUSAN simpulkan dan buat orang terprovokasi dengan komentar yang jauh lebih spontan
semua itu awalnya dipengaruhi oleh paradigma-paradigma negatif dan rasa takut dan pengaruhpengaruh yang membuat rasa tertekan. mengapa kita tidak bisa membuat kebiasaan paradigma negatif yang membuat kita terprovokasi,tertekan,terjuri,terperintah, menjadi sebuah paradigma postif yang bebas dan mengerti? memang sulit untuk menjadikan sesuatu yang jelas pada porsinya menjadi sesuatu yang tidak jelas dan sulit diatur. itu juga untuk suatu kebebasan. kebebasan yang mungkin tidak pada porsinya. tapi tidak berarti kita harus ada didalam paradigma bayangan itu kan? hidup itu harus mendengar. tapi, hidup juga harus mengikuti kata hati.